Dunia Barat Menyanjung Malala Namun Tidak Dengan Ahed Pejuang Palestina – Jutaan orang di Barat bumi terbelalak, mereka marah dikala seseorang anak wanita berumur 16 tahun ditembak oleh wajib militer Taliban di Afghanistan, tahun 2012.
Dunia Barat Menyanjung Malala Namun Tidak Dengan Ahed Pejuang Palestina
malala-yousafzai – Malala Yousafzai, julukan anak itu, saat ini jadi simbol wanita pejuang independensi di mata banyak orang di bumi. Beliau kekinian jadi mahasiswi di Inggris, serta mencapai Hadiah Nobel Perdamaian 2014 atas jasanya melawan aniaya kalangan belia.
Baca juga : Malala Yousafzai Diserbu di Sosial Media Sehabis Pertanyakan Kenapa Butuh Menikah
Selang 5 tahun setelah julukan Malala melambung, terdapat seseorang anak wanita lain bernama Ahed Tamimi. Masyarakat Palestina yang sedang berumur 16 tahun itu kekinian terletak di balik sel bui Israel.
Beliau dibekuk sehabis puluhan angkatan Israel melatis masuk ke dalam rumahnya, Jumat( 22/ 12) dini hari. Beliau diseret ke mobil tentara sebab tadinya terekam film menampar seseorang serdadu negara zionis.
Tetapi jauh saat sebelum itu, semenjak umur lebih dini, Ahed kecil telah ikut serta kelakuan perlawanan kepada kolonialisme Israel. Beliau saban Jumat mengetuai gadis- gadis serta masyarakat desanya, Rasul Alim, Pinggir Barat, buat berdemonstrasi menentang kolonialisme.
Tetapi, tidak semacam Malala, bumi Barat hampir tidak berbicara membela Tamimi. Hampir tidak terdapat penguasa ataupun kalangan feminis Barat yang mengampanyekan pembebasan Tamimi.
” Cuma sedikit sokongan buat Ahed dari golongan feminis barat, advokat hak asas orang serta administratur negeri yang mengklaim diri selaku penganjur HAM dan pemenang pemberdayaan anak wanita,” kritik Shenila Khoja- Moolji, semacam yang beliau tuliskan dalam kolom pandangan Angkatan laut(AL) Jazeera, Kamis( 28/ 12/ 2017).
Shenila merupakan guru di University of Pennsylvania, Amerika Sindikat. Beliau mencapai titel ahli serta mengampu program riset kelamin, seksualitas, serta wanita di universitas itu.
Beliau mempersoalkan golongan nirlaba ataupun penguasa yang getol mengampanyekan pemberdayaan wanita, tetapi bungkam kala Israel membekuk Tamimi serta gadis- gadis Palestina yang lain.
Sementara itu, tutur Shenila, tidak terbatas banyaknya kelompok- kelompok itu mengadakan kampanye buat memberdayakan anak wanita semacam Girl Up; Girl Rising; Gram( irls) 20; Because I am a Girl; Let Girls Learn; atau Girl Declaration.
” Perihal berlainan kala Malala ditembak oleh Taliban. Gordon Brown( mantan Kesatu Menteri Inggris) mengawali petisi garis besar berjudul I am Malala. Sedangkan Unesco PBB meluncurkan kampanye Stand Up for Malala” cecarnya.
” Tetapi kala Ahed dibekuk dengan cara kasar oleh Israel? Kita tidak memandang kampanye#IamAhed ataupun#StandUpForAhed. Tidak satu juga dari golongan feminis serta HAM ataupun figur politik menghasilkan statment yang mendukungnya ataupun menyapa Israel. Tidak terdapat yang memublikasikan Hari Ahed. Ahed pula sesungguhnya sempat ditolak masuk AS buat berkampanye kebebasan Palestina,” jelasnya.
Pengarang novel” Forging the Sempurna Educated Girl: The Production of Desirable Subjects in Orang islam South Asia” itu berkata, Ahed sesungguhnya semacam Malala, ialah asal usul kasar kalangan wanita belia melawan ketidakadilan.
Baca juga : Mengapa Agama Memfasilitasi Perang?
Ahed, lalu Shenila, teratur mengadakan kelakuan keluhan atas perampokan tanah serta air kepunyaan Palestina oleh Israel.
Apalagi, Ahed pula mempertaruhkan pribadinya. Sampai kekinian, Ahed telah kehabisan mamak serta sepupunya dampak pendudukan Israel. Bunda, papa, serta kerabat laki- lakinya pula telah berulang kali dibekuk serta dianiaya Israel.
” Bunda Ahed sempat tertembak di kaki. Ahed pada umur sedang amat muda pula terekam mengerkah tangan tentara Israel yang menarik kerabat laki- lakinya. Film itu viral 2 tahun kemudian, tetapi tidak terdapat yang hirau,” tuturnya.
Bagi Shenila, terdapat beberapa aspek yang membuat kalangan feminis, pemelihara HAM, politikus, ataupun figur bumi, mengarah bungkam kepada permasalahan Ahed.
Awal, membisunya bumi kepada Ahed sebab ada kecondongan khalayak mengabsahkan kekerasan yang dicoba oleh negara—dalam permasalahan ini merupakan Israel yang diakui selaku negeri legal oleh bumi Barat.
Khalayak barat, tutur Shenila, mengarah hirau serta marah jika seorang jadi korban kekerasan yang dicoba oleh bintang film nonnegara semacam Taliban ataupun Boko Tabu.
Shenila mempersoalkan kecondongan semacam itu. Karena, kekerasan kepada wanita ataupun masyarakat bukan cuma dalam wujud invasi tentara, penahanan sekehendak hati, ataupun brutalitas polisi, tetapi pula perebutan pangkal energi alam.
” Negeri menjustifikasi tindakan- tindakan kasar ini dengan menyampaikan masyarakat yang sesungguhnya korban ketidakadilan selaku bahaya kepada negeri,” terangnya.
Shenila lalu meminjam pandangan filsuf Italia kontemporer, Giorgio Agamben, ialah” Kala telah dikira bahaya oleh sesuatu negeri, korban hendak lebih gampang dijadikan selaku orang tanpa harga politik, serta jadi sasaran kesalahan penguasa. Hingga, serbuan kepada mereka tanpa cara majelis hukum bisa dicoba tanpa memancing banyak atensi dari khalayak,” jelasnya.
Baginya, Israel pula memakai strategi semacam itu. Ahed dibekuk Israel dengan alibi wanita itu amat” beresiko” untuk kesinambungan penguasa.
“ Membekuk anak muda tidak bersenjata semacam Ahed—yang cuma sebab mau mencegah keluarganya dengan tamparan—dan diperlakukan semacam teroris merupakan aksi yang tidak bisa dipahami,” kecamnya.
Penahanan Ahed malah membuka jalur buat otorisasi penyisksaan kelewatan. Shenila memisalkan, Menteri Pembelajaran Israel Naftali Bennett mengancam serta berambisi Ahed bersama keluarga” menuntaskan hidup mereka di bui”.
Walhasil, Shenila merumuskan kalau permasalahan penahanan Ahed ikut memecahkan arsitektur humanisme Barat yang memunyai kecondongan berhati- hati. Para humanis Barat memunyai patokan sendiri kepada suasana ataupun insiden apa yang pantas mereka campur tangan.
” Kasus- kasus kelaparan, brutalitas polisi ataupun angkatan, pengangguran, kesalahan kepada wanita, kerapkali ditaksir tidak pantas buat menemukan atensi mereka. Karena, isu- isu semacam itu dikira tidak terelakkan. Karenanya, Ahed ditatap tidak sesuai menemukan atensi dari badan- badan transnasional,” jelasnya.
Tidak cuma itu, Shenila menerangkan, Ahed dikira kalangan feminis, pemantau HAM, politikus, ataupun negarawan Barat tidak sesuai dengan stereotipe” wanita pemberani” tipe mereka.
“ Ahed, wanita yang melawan penjajahan serta memunyai visi atas rakyatnya, bukan tipologi pemberdayaan wanita yang mau diamati Barat. Ahed mencari kesamarataan lewat metode melawan kolonialis, bukan pemberdayaan yang cuma buat dirinya sendiri,” nilainya.
“ Feminisme Ahed bertabiat politis. Daya ia selaku wanita buat menyingkapkan tampang kurang baik penjajahan. Karenanya, beliau dikira’ beresiko’. Kegagahan serta tekatnya buat tidak gentar malah memutuskan seluruh ketidakberesan kolonialis,” tuturnya.
Shenila lalu menekan supaya penggerak ataupun lembaga- lembaga pemberdayaan wanita di Barat melaksanakan otokritik serta mengganti paradigma hal peperangan wanita kepada aniaya.
Beliau mengambil statment revolusioner sekalian kepala negara awal Afrika Selatan Neslon Mandela buat menutup kritiknya:” Seluruh ketahui tentu kalau independensi kita tidak hendak sempat komplit tanpa independensi Palestina.”